Kab. Tasikmalaya, QJabar, — Gelombang desakan terhadap transparansi dan akuntabilitas anggaran di tubuh Sekretariat Daerah (Setda) Kabupaten Tasikmalaya kini memasuki babak serius. Setelah dua kali audiensi tanpa hasil dan laporan resmi ke Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI), DPC Persatuan Wartawan Republik Indonesia (PWRI) Kabupaten Tasikmalaya melayangkan ultimatum keras, jika tak ada kejelasan dalam waktu dekat, kasus ini akan dilaporkan ke KPK dan Ombudsman RI.
Ultimatum itu disampaikan oleh Ketua DPC PWRI Kabupaten Tasikmalaya, Chandra F. Simatupang, seusai audiensi kedua dengan DPRD pada Rabu (15/10/2025). Audiensi kembali berakhir dengan kekecewaan karena Sekretaris Daerah Mohammad Zen dan mantan Kabag Umum Herni kembali tidak hadir tanpa alasan jelas.
“Ini bukan soal miskomunikasi, tapi soal tanggung jawab publik. Kami datang dua kali dengan dokumen resmi, tapi yang kami temui hanya alasan dan ketidakhadiran. Jika ini terus berlarut, kami akan melangkah ke KPK dan Ombudsman RI,” tegas Chandra di hadapan awak media.
PWRI menyoroti bahwa total realisasi anggaran Setda tahun 2024–2025 mencapai sekitar Rp79 miliar, namun hingga kini tidak ada laporan pertanggungjawaban terbuka kepada publik maupun DPRD.
Dalam hasil telaah investigatif, PWRI menemukan adanya tumpang tindih pos anggaran, duplikasi nomenklatur kegiatan, serta pagu fiktif yang tidak bisa dijelaskan pejabat teknis saat audiensi.
“Jawaban mereka melenceng, liar, dan tidak menyentuh inti persoalan. Kami tanya soal belanja penyedia dan swakelola yang muncul ganda, malah dijawab dengan alasan kegiatan rutin. Ini jelas tidak bisa diterima,” ujar Chandra dengan nada tajam.
Dalam forum audiensi tersebut, Randika, Ketua Bidang OKK PWRI Kabupaten Tasikmalaya, secara tegas memaparkan hasil kajian Dugaan Penyimpangan dan Mark-Up Anggaran Sekretariat Daerah Kabupaten Tasikmalaya Tahun Anggaran 2024–2025.
Kajian tersebut menunjukkan adanya pola duplikasi kegiatan, ketidakwajaran pembelanjaan, dan indikasi rekayasa sistematis dalam penyusunan serta pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada unit Sekretariat Daerah.
Randika menjelaskan bahwa hasil telaah tim menemukan sejumlah indikasi utama sebagai berikut:
1. Tumpang tindih pos penyedia dan swakelola — kegiatan identik muncul dua kali dengan nilai berbeda.
2. Belanja tidak wajar dan berulang — pos makan-minum tercatat sebanyak 21 kali dengan nilai total mencapai Rp1,84 miliar.
3. Mark-up pengadaan barang modal — pengadaan kendaraan dinas, mebel, dan peralatan rumah tangga dicatat melebihi harga standar, tanpa disertai bukti serah terima barang (BAST).
4. Anggaran konsumtif tidak efisien — kegiatan medical check-up ASN senilai Rp1,27 miliar dilaksanakan tanpa dasar jumlah peserta yang jelas.
5. Duplikasi kegiatan administratif — kegiatan koordinasi dan rapat tercatat ganda dengan nomenklatur berbeda.
6. Pola rekayasa sistematis — nilai kegiatan swakelola tetap tinggi meskipun total anggaran mengalami penurunan signifikan.
Randika menegaskan, hasil analisis tersebut mengarah pada pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, serta berpotensi melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001) tentang penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian keuangan negara.
Randika menambahkan, pola rekayasa sistematis itu tampak jelas dari kecenderungan pengulangan jenis kegiatan dengan pagu besar namun tanpa capaian terukur. Beberapa kegiatan administratif bahkan tidak memiliki indikator kinerja yang valid, sementara realisasi anggaran tetap dicairkan penuh.
Dalam Analisa, Randika, juga menemukan adanya pemisahan kegiatan secara artifisial untuk memecah plafon belanja, sehingga tampak seolah-olah terdapat banyak kegiatan, padahal muaranya sama dan hanya berganti nama.
“Contohnya, kegiatan koordinasi, monitoring, dan konsultasi, semuanya bermuara pada perjalanan dinas yang sama, hanya dibedakan redaksi judulnya. Ini jelas pola yang sengaja dibuat agar tidak terlihat menumpuk pada satu pos,” ungkap Randika.
Ia menilai praktik tersebut bukan lagi sebatas kekeliruan administratif, melainkan sudah masuk pada pola sistematis dalam mengatur belanja tanpa kontrol akuntabel.
Jika pola seperti ini dibiarkan, lanjut Randika, maka sistem keuangan daerah akan menjadi sarang pemborosan dan membuka celah terjadinya tindak pidana korupsi terselubung. Ucap Randika.
“Kami tidak sedang berasumsi, kami bicara berdasarkan dokumen APBD dan hasil analisa komparatif antar tahun. Fakta di lapangan membuktikan, ketika nilai total anggaran turun, nilai swakelola justru tetap tinggi. Itu tanda ada sesuatu yang disembunyikan,” tegasnya.
Randika menilai temuan tersebut cukup kuat untuk ditindaklanjuti oleh lembaga pengawas negara seperti BPK, KPK, dan Ombudsman RI, mengingat potensi kerugian keuangan daerah bisa mencapai miliaran rupiah bila praktik duplikasi dan mark-up tersebut terbukti.
PWRI juga menyoroti sikap Komisi I dan Pimpinan DPRD Kabupaten Tasikmalaya yang dinilai “tidak progresif” dan “terlalu lunak” terhadap eksekutif. Beberapa kali permintaan jadwal audiensi ulang tidak direspons cepat, dan fungsi pengawasan dianggap hanya formalitas.
“Fungsi pengawasan DPRD itu jelas diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014. Kalau legislatif diam saat ada indikasi penyimpangan, berarti mereka ikut melanggengkan ketertutupan,” ujar Chandra menegaskan.
PWRI memastikan telah melengkapi print out rencana kegiatan, SPJ pembelanjaan, dan bukti lapangan untuk diserahkan kepada BPK RI, dan siap dibuka kepada publik bila diperlukan.
Jika audit investigatif BPK tidak menunjukkan progres dalam 30 hari, PWRI akan melayangkan laporan resmi ke KPK RI di Jakarta dan Ombudsman RI untuk memeriksa potensi maladministrasi serta penyalahgunaan wewenang.
“Kami tidak akan berhenti. Uang rakyat bukan mainan pejabat. Transparansi itu kewajiban hukum, bukan pilihan politik,” tegas Chandra.
Polemik anggaran Setda Tasikmalaya bukan sekadar soal angka, tapi soal moral dan kejujuran birokrasi.
Ketidakhadiran pejabat dalam forum resmi dan minimnya tanggapan DPRD menjadi sinyal buruk bagi iklim pemerintahan daerah yang seharusnya menjunjung transparansi.
PWRI menegaskan tidak sedang berhadapan dengan pemerintah, tetapi menjalankan fungsi kontrol sosial yang dijamin oleh UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Kini publik menunggu langkah nyata: apakah Pemkab Tasikmalaya berani membuka data anggaran secara penuh, atau membiarkan kasus ini berlanjut ke meja penyidik KPK. (Tim)